Jim
lim mendirikan Studiklub Teater Bandung
dan mulai mengadakan eksperimen dengan
menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon,
longser, dan dagelan dengan teater
Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik
dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal
dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan
akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The
Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari
Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan
gaya longser, teater rakyat Sunda.
Salah satu
pementasan Studiklub Teater Bandung
Tahun
1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya
penyutradaraannya yang berjudul Pangeran
Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi
lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964).
Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi
isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak
(Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim
Lim belajar teater dan menetap di Paris.
Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim
yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis. Peristiwa penting dalam usaha membebaskan
teater dari batasan realisme
konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak
berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme.
Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan
bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini
kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan
Rambate Rate Rata (1967,1968).
Proses latihan
Bengkel Teater Rendra
Didirikannya
pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta
tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya
aktivitas, dan kreativitas
berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung,
Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman
Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas)
pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum
atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud
dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di
Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht)
dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat,
Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur,
Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater
Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater
Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar.
Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun
1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu
Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja),
Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi
Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya
pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan
verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan
menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai
gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang
menciptakan situasi dan aksi sehingga
lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri
pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.
Pementasan
Teater Koma pimpinan N. Riantiarno
0 komentar "Teater Indonesia Tahun 1970-an", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar