Semua
unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang
dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya
kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter
Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua
orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu
didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan
kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan
kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal
6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia
dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang
(Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan
kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan
kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah
diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan
kesenian Indonesia, ternyata mengalami
hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang
membentuk badan perfilman dengan nama
Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja
Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak
ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar
Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.
Dalam
masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang
adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk
seni hiburan yang berbau Belanda lenyap
karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara
keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut,
Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain
kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa,
maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan
aktris kenamaan, antara lain Astaman,
Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang
Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan
nama samarannya Mon Siour D’amour ini
dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris
Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang
Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama
seperti pada masa Dardanella, Komedi
Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh
tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian
ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang
cantik-cantik .
Menyusul
kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi
Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry
Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya.
Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan
teater mereka karena Dewi Mada adalah penari
terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara
lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga
tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola
pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu
masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan
membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara
Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia,
seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan
deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung.
Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga
menarik minat penonton. cerita- cerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan
Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan
sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu
rombongan sandiwara yang digemari rakyat
jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di
bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara
Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-
cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar
Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan
rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang
menyukai pertunjukan Matahari yang
menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru
kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian
semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan
disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya
dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut
mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara
lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna,
dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu
Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada
yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan
sandiwara profesional tidak luput dari
perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan
Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang
beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah
lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis
lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah
Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen
diterjemahkan dan judulnya diganti
dengan Jinak-jinak Merpati oleh
Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena
ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau
melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu
malah menjadi titik awal
dikenalkannya naskah dalam setiap
pementasan sandiwara.
Menjelang
akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra
yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944)
pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan
Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan
para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip
menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke
arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan
tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan
cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni
serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar
Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi
Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
0 komentar "Teater Indonesia Tahun 1940-an", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar