Setelah
perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi
seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan,
kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan,
kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan
lain-lain. Peristiwa perang secara khas
dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh
Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik
Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959).
Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska perang, seperti
korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme,
melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam
lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya
Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat
Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956),
berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai
awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering
menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan
sampai ke Malaysia.
Realisme
konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi
pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh
idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini
menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada
tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul
Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon
terjemahan dari Barat, seperti karya- karya Moliere, Gogol, dan Chekov.
Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah
Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang
pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan
sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana
Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono
mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni
Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
0 komentar "Teater Indonesia Tahun 1950-an", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar