Dalam khasanah teater dewasa ini
dapat disimpulkan unsur utama teater adalah naskah lakon, sutradara, pemain,
dan penonton. Tanpa keempat unsur tersebut pertunjukan teater tidak bisa
diwujudkan. Untuk mendukung unsur pokok tersebut diperlukan unsur tata artistik
yang memberikan keindahan dan mempertegas makna lakon yang dipentaskan
1. Naskah Lakon
Salah satu ciri teater modern
adalah digunakannya naskah lakon yang
merupakan bentuk tertulis dari cerita drama yang baru akan menjadi karya
teater setelah divisualisasikan kedalam pementasan. Naskah Lakon pada dasarnya
adalah karya sastra dengan media bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan
naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media
bahasa pentas. Dalam visualisasi tersebut karya sastra kemudian berubah
esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi inilah karya sastra
bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu sutradara, pemain, dan
tata artistik.
Naskah lakon sebagaimana karya
sastra lain, pada dasarnya mempunyai struktur yang jelas, yaitu tema, plot,
setting, dan tokoh. Akan tetapi, naskah
lakon yang khusus dipersiapkan untuk
dipentaskan mempunyai struktur lain yang
spesifik. Struktur ini pertama kali di rumuskan oleh Aristoteles yang membagi
menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi (pemaparan), komplikasi, klimaks,
anti klimaks atau resolusi, dan konklusi (catastrope). Kelima bagian tersebut
pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat
fungsionalistik.
2. Sutradara
Di
Indonesia penanggung jawab proses transformasi naskah lakon ke bentuk
pemanggungan adalah sutradara yang merupakan pimpinan utama kerja kolektif
sebuah teater. Baik buruknya pementasan teater sangat ditentukan oleh kerja
sutradara, meskipun unsur–unsur lainnya juga berperan tetapi masih berada di
bawah kewenangan sutradara. Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung
jawab terhadap kelangsungan proses terciptanya pementasan juga harus
bertanggung jawab terhadap masyarakat atau penonton.
Meskipun dalam tugasnya seorang
sutradara dibantu oleh stafnya dalam menyelesaikan tugas– tugasnya tetapi sutradara tetap merupakan penanggung
jawab utama. Untuk itu sutradara dituntut mempunyai pengetahuan yang luas agar
mampu mengarahkan pemain untuk mencapai kreativitas maksimal dan dapat
mengatasi kendala teknis yang timbul dalam proses penciptaan. Sebagai seorang pemimpin, sutradara harus
mempunyai pedoman yang pasti sehingga bisa mengatasi kesulitan yang timbul.
Menurut Harymawan (1993) Ada
beberapa tipe sutradara dalam
menjalankan penyutradaraanya, yaitu:
x Sutradara
konseptor. Ia menentukan pokok penafsiran dan menyarankan konsep penafsiranya
kepada pemain. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi
juga terikat kepada pokok penafsiran tsb.
x Sutradara
diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak seperti dirinya sendiri, tidak ada
konsep penafsiran dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya, sementara
pemain dibentuk menjadi robot – robot yang tetap buta tuli.
x Sutradara koordinator.
Ia menempatkan diri sebagai pengarah atau polisi lalulintas yang
mengkoordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsirannya.
x Sutradara
paternalis. Ia bertindak sebagai guru atau suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan
dengan mengasuh batin para anggotanya.Teater disamakan dengan padepokan,
sehingga pemain adalah cantrik yang harus setia kepada sutradara.
3. Pemain
Untuk mentransformasikan naskah
di atas panggung dibutuhkan pemain yang mampu menghidupkan tokoh dalam naskah
lakon menjadi sosok yang nyata. Pemain adalah alat untuk memeragakan tokoh.
tetapi bukan sekedar alat yang harus
tunduk kepada naskah. Pemain mempunyai wewenang membuat refleksi dari naskah
melalui dirinya. Agar bisa merefleksikan tokoh menjadi sesuatu yang hidup,
pemain dituntut menguasai aspek-aspek
pemeranan yang dilatihkan secara khusus,
yaitu jasmani (tubuh/fisik), rohani (jiwa/emosi), dan intelektual. Memindahkan
naskah lakon ke dalam panggung melalui media pemain tidak sesederhana
mengucapkan kata - kata yang ada dalam naskah lakon atau sekedar memperagakan keinginan
penulis melainkan proses pemindahan mempunyai karekterisasi tersendiri, yaitu
harus menghidupkan bahasa kata (tulis) menjadi bahasa pentas (lisan).
4. Penonton
Tujuan terakhir suatu pementasan
lakon adalah penonton. Respon penonton atas lakon akan menjadi suatu respons
melingkar, antara penonton dengan pementasan. Banyak sutradara yang kurang
memperhatikan penonton dan menganggapnya sebagai kelompok konsumsi yang bisa
menerima begitu saja apa yang disuguhkan sehingga jika terjadi suatu kegagalan
dalam pementasan penonton dianggap sebagai penyebabnya karena mereka tidak
mengerti atau kurang terdidik untuk memahami sebuah pementasan.
Kelompok penonton pada sebuah
pementasan adalah suatu komposisi organisme kemanusiaan yang peka. Mereka pergi
menonton karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan cita-cita. Alasan lainnya untuk tertawa,
untuk menangis, dan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat
ingin menonton. Penonton meninggalkan rumah, antri karcis dan membayar biaya
masuk dan lain- lain karena teater adalah dunia ilusi dan imajinasi.
Membebaskan pola rutin kehidupan selama waktu dibuka hingga ditutupnya tirai
untuk memuaskan hasrat jiwa khayalannya.
Eksistensi teater tidak mengenal
batas kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan menguasai
sikap dan tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan
dan kebutuhan berhubungan dengan sesama. Sehingga menempuh jalan sebagai
berikut :
x Bertemu dengan
orang lain yang menonton teater. Teater merupakan suatu lembaga sosial.
x Memproyeksikan
diri dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas pentas
secara khayali. Teater adalah salah satu cara proses interaksi sosial Dalam memandang suatu karya seni penonton
hendaklah mampu memelihara adanya suatu objektivitas artistik.
Ini bisa tercapai dengan
menentukan jarak estetik (aestetic distance) sehubungan dengan karya seni yang
dihayatinya. Pemisahan yang dimaksud, antara penonton dan yang ditonton, pada
seni teater diusahakan dengan jalan:
x Menciptakan
penataan yang tepat atas auditorium dan pentas.
x Adanya batas
artistik proscenium sebagai bingkai gambar.
x Pentas yang
terang dan auditorium yang gelap. Semua
itu akan membantu kedudukan penonton sehingga memungkinkan untuk melakukan
perenungan.
5. Tata Artistik
Tata artistik merupakan unsur
yang tidak dapat dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi tidak utuh tanpa adanya tata artistik yang
mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung , tata busana, tata
cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan
menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur- unsur artistik menjadi lebih
berarti apabila sutradara dan penata artistik mampu memberi makna kepada
bagian-bagian tersebut sehingga unsur- unsur tersebut tidak hanya sebagai
bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan
yang utuh dari sebuah pementasan.
Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama
pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat
penonton tetapi juga menghidupkan
pemeranan dan suasana panggung. Tata cahaya atau lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah
sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana
lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.
Tata musik adalah pengaturan
musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan
pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan. Tata suara adalah pengaturan keluaran suara
yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek
suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni. Tata rias dan tata busana adalah pengaturan rias dan busana yang dikenakan pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran
yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain
bisa terlihat jelas penonton.
0 komentar "Unsur Pembentuk Teater", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar